2/12/2023

Kebijakan Kebijakan Politik Era Orde Baru, Politik Dalam dan Luar Negeri Serta Stabilitas dan Kebijakan Ekonomi

balagia.blogspot.com
Soeharto via donisetyawan.com
Nah, tulisan ini nerusin dari tulisan yang sebelumnya bagaimana proses terbentuknya Orde Baru dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi sebelum terjadinya Orde Baru. Ketika Orde Baru resmi berjalan dan pemerintahan Soeharto mulai bekerja, nampak jelas kebijak kebijakan politik yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Nah berikut ini kebijakan kebijakan di era Orde Baru, simak yaa.

1. Kebijakan politik era Orde Baru

Pelaksanaan politik Orde Baru diletakkan pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tonggak munculnya Orde Baru jelas sebagai wujud pelaksanaan Supersemar yang bukan hanya diartikan sebagai kepercayaan Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, namun juga kehendak rakyat Indonesia. Pada tanggal 20 Juni 1966, MPRS menyelenggarakan sidang umum yang menerima dan menetapkan Supersemar dalam salah satu kesepakatan, dari 24 ketetapan yang dihasilkannya.

Berikut ketatapan MPRS terkait Supersemar dan perkembangan politik pada saat itu :

  • Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memperkuat kebijaksanaan presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS Republik Indonesia yang dituangkan dalam Supersemar dan meningkatkan menjadi Ketetapan MPRS.
  • Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 tentang pemilihan umum yang dilaksanakan secara Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER). Pemungutan suara dilakukan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
  • Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri yang Bebas Aktif. Bertujuan membentuk satu persahatan yang baik antara Indonesia dan semua negara di dunia, terutama negara negara di Asia-Afrika atas dasar kerja sama membentuk satu dunia baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme menuju perdamaian dunia yang sempurna.
  • Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang menggantikan Kabiner Dwikora.
  • Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
Di hari yang sama pada Sidang Umum MPRS tanggal 20 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di hadapan anggota MPRS berkaitan dengan pemberontakan G30S/PKI. Pertanggungjawaban tersebut berjudul Nawaksara. Kemudian di ganti dengan judul "Pelengkap Nawaksara" setelah presiden melengkapi pertanggungjawabannya pada 10 Januari 1967. Akan tetapi, pertanggungjawaban tersebut akhirnya di tolak oelh MPRS melalui Ketetapan MPRS No. V/MPRS/1966. Oleh karna itu, MPRS melaksanakan Sidang Istimewa pada tanggal 7-12 Maret 1967 yang menghasilkan 4 ketetapan yaitu :

  • Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Letjen Soeharto pemegang Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu.
  • Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang Peninjauan Kembali Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
  • Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
  • Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang Pencabutan Panitia Penelitian Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Selain itu, pemerintahan Orde Baru juga menerapkan wajibnya penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) . Sebagaimana kita ketahui bahwa pancasila ditetapkan sebagai falsafah landasan idiil negara Indonesia. Pancasila sudah ditetapkan sebagai dasar negara sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Namun, ide untuk merumuskan setiap pasal tentang apa yang terkandung di dalamnya baru muncul setelah tiga dasawarsa lamanya.

Perumusan P-4 berawal dari dibentuknya sebuah kepanitiaan yang dinamakan Panitia Lima yang beranggotakan lima orang Presiden Soeharto. Antara lain : Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua, Mr Ahmad Subarjo, Prof. Mr. A.G. Pringgodogdo, Prof.  Mr. Sunaryo, dan Mr. A.A Maramis. Pada tanggal 10 Februari 1975, panitia ini menyampaikan hasil kerjanya yang diberi nama "Uraian Pancasila" kepada pers "Uraian Pancasila" ini selanjutnya diserahkan kepada pemerintah untuk dibahas bersama-sama dengan mempertimbangkan usulan dari berbagai pihak. Setelah mencapai kesepakatan dalam pembahasan, maka hasilnya, dinamakan "Eka Prastya Pancakarsa".

Pada Sidang Umum MPR RI tanggal 11-23 Maret 1978, pemerintah mengajukan "Eka Prastya Pancakarsa" untuk dibahas dan mendapat pengesahan dari MPR. Akhirnya MPR dengan ketetapan No. II/MPR/1978 menetapkannya sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau di singkat P-4.

Tujuan Penataran P-4 adalah membentuk masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa Pancasilais atau manusia Pancasilais. Manusia Pancasilais adalah manusia yang dalam keadaan apapun selalu mengamalkan Pancasila secara konsisten dan konsekuen. Konsisten berarti setia kepada apa yang di yakini benar dan adil. Konsekuen berati kemampuan menghadapi konsekuensi atai akibat dari sikap laku dengan tabah, sabar, tawakal, serta bertanggung jawab.

Pada tanggal 1 Oktober 1978, untuk pertama kalinya diadakan penetaran tingkat nasional yang di buka langsung oleh Presiden Soeharto. Penataran itu diikuti oleh para pejabat tinggi negara. Setalah itu, diadakan penataran-penataran tingkat daerah yang diikuti oleh para pejabat daerah dan PNS. Dimana orang yang menatar adalah para pejabat tinggi yang pernah mengikuti penataran tingkat nasional. Begitu seterusnya sampai tingkat penataran paling bawah hinggah seluruh masyarakat Indonesia mendapat penataran P-4.

Sasaran dilakukannya penataran P-4 tidak hanya diperuntukan bagi Pegawai Negeri Sipil maupun pejabat-pejabat negara, tetapi juga bagi para pelajar, mahasiswa, pegawai swasta, dan masyarakat umum. Hal ini disebabkan Pancasila merupakan sistem nilai budaya dan filisofis idiil bangsa Indonesia, yang harus dihayati dan di amalkan oleh segenap rakyat Indonesia. Penataran P-4 ini sering disebut dengan re-ideologi Pancasila.

Pada pelaksanaan program penataran P-4, tidaklah berjalan dengan tanpa hambatan. Ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan pelaksanaan penataran P-4 tersebut. Hal ini dikarenakan penataran P-4 dianggap sebuah doktrin yang mau tidak mau harus dijadikan dasar pemikiran. Bagi sebagian kelompok, ini dianggap sebagai bentuk pengekangan kebebasan berpikir dan berpendapat atau dengan kata lain kurang demokratis. Setiap organisasi organisasi yang muncuk di Indonesia haruslah menyertakan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya.

Setiap orang yang dianggap tidak sepaham dengan Penataran Pancasila tersebut pada akhirnya diculik dan dilakukan tindakan terhadapnya. Kaum yang menentang keras pemaksaan penataran P-4 ini, sebagian besar justru berasal dari mahasiswa. Mereka kurang sepakat jika pancasila dipaksakan kedalam setiap jiwa individu bangsa Indonesia. Bagi pemerintah, golongan-golongan tersebut sangat berpotensi membahayakan negara sehingga dapat melakukan tindakan makar.

Tindakan pemerintah ini membuat ketidakpuasan dari para aktivis. Pemerintah Orde Baru semakin tidak populer dan cenderung dianggap diktator oleh para aktivis. Pada kenyataannya, pihak-pihak oposisi pun di tumpas habis, pemerintah berdiri kukuh dengan melarang setiap bentuk kritikan. Tentu hal ini membuat pemerintahan Orde Baru memerintah dengan tanpa dikontrol. Tindakan yang paling keras dilakukan pemerintahan Orde Baru adalah adanya Petrus (Penembak Misterius) dan DOM (Daerah Operasi Militer).

Petrus merupakan pihak yang diutus oleh pemerintah untuk menculik dan menghabisi nyawa para aktivis yang sangat kritis menentang kebijakan pemerintahan Orde Baru. Petrus biasanya di ambil dari kalangan dinas intelejen negara. Banyak aktivis yang tiba-tiba hilang dan ternyata mereka telah dihabisi oleh pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan persidangan untuk menjerat setiap lawan-lawan politiknya. Cukup dengan penyelidikan intelejen negara hingga orang tersebut benar benar dicurigai sebagai aktivis garis keras, dan langsung dihabisi oleh Petrus.

Sedangkan DOM, merupakan kebijakan pemerintah untuk menerapkan daerah militer bagi daerah-daerah yang dicurigai terdapat banyak kelompok penentang pemerintah. Salah satu daerah korban DOM zaman Orde Baru adalah Daerah Istemewa Aceh. Penerapan DOM  di Aceh telah banyak memakan korban, bahkan banyak nyawa warga sipil melayang. Tentu hal ini sangat melanggar Hak Asasi Manusia.

Diantara peristiwa-peristiwa diluar batas kemanusiaan yang terjadi masa Orde Baru adalah Geger Talangsari, Lampung Berdarah, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Malari, dan Peristiwa Kudatuli. Peristiwa-peristiwa tersebut dilakukan oleh pemerintah karena penentangan terhadap pemerintah. Peristiwa tersebut menguap begitu saja setelah terjadi. Akhirnya, para aktivis melakukan gerakan bawah tanah untuk setiap pergerakannya. Hal ini bertujuan agar gerakannya tidak diketahui oleh pemerintah. Baru setalah era Reformasi gerakan-gerakan ini berani bermunculan secara terang-terangan.

2. Politik luar negeri era Orde Baru

Politik luar negeri Indonesia era Orde Baru adalah politik luar negeri Bebas Aktif. Hal ini mengandung maksud tidak memihak masing-masing blok kekuatan besar pada waktu itu yang dapat berpotensi menimbulkan perang. Blok yang ada adalah Blok Barat milik AS dan sekutunya dengan paham liberal dan Blok TImur milik Uni Soviet dan sekutunya yang berideologi komunis. Sedangkan aktif dengan selalu menjaga perdamaian dunia dengan cara-cara tertentu. Pada masa Orde Lama, sebenarnya politik luar negeri Indonesia juga Bebas Aktif. Namun, pada kenyataannya lebih ke Blok Timur. Berikut langkah-langkah kebijakan pemerintahan Orde Baru di bidang politik luar negeri.

a. Indonesia kembali menjadi anggota PBB
Pada masa pemerintahan Orde Lama, sebenarnya Indonesia telah menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1950. Namun, pada tanggal 1 Januari 1965, pemerintahan Orde Baru memutuskan keluar dari PBB karena permasalahan dengan Malaysia. Pada zaman Orde Baru, Indonesia kembali aktif di keanggotaan PBB. Pada waktu itu, DPR-GR berhasil mendesak pemerintahan agar mau aktif kembali keanggotaan PBB. Indonesia kembali ke PBB secara resmi pada tanggal 28 September 1966. Keanggotaan indonesia di PBB secara nyata tampak dengan terpilihnya Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik sebagai ketua Majelis Umum PBB saat masa sidang tahun 1974.

b. Mengakhiri konfrontasi dengan malaysia 
Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia sebenarnya terjadi karena Indonesia menganggap jika Malaysia merupakan proyek neokolonisasi Inggris yang ditujukan kepada Indonesia. Selain itu, juga merupakan pangkalan asing yang ditujukan kepada Indonesia. Tentu ini akan mengancam revolusi di Indonesia dan juga menentang New Emerging Force di Asia Tenggara.

Di samping itu, Indonesia juga menentang Malaysia yang akan membentuk negara federasi Malaysia. Upaya penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia dilakukan dengan cara diplomasi tanpa kekerasan. Pada waktu itu Filipina adalah negara yang menjadi penengah upaya diplomasi. Pada tanggal 31 Juli - 5 Agustus 1966 di lakukan perundingan yang melibatkan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dengan menghasilkan tiga dokumen, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunite Bersama.

Untuk mempererat hubungan ketiga negara, dibentuklah forum Maphilindo (Malaysia, Philippine, Indonesia) yang dapat di gunakan untuk memecahkan persoalan ketiga negara. Pada tanggal 11 Agustus 1966, ditandatangani normalisasi hubungan Indonesia Malaysia. Malaysia di wakili oleh Tun Abdul Razak, sedangkan Indonesia diwakili oleh Adam Malik.

Persetujuan tersebut merupakan hasil perundingan di Bangkok pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1966. Dengan nama Persetujuan Bangkok. Isi persetujan tersebut ialah :

  • Rakyat Sabah dan Serawak akan diberikan kesempatan lagi dalam mengambil keputusan mengenai kedudukan mereka di Malaysia
  • Kedua pemerintah (Malaysia dan Indonesia) menyetujui pemulihan hubungan diplomatik
  • Menghentikan tindakan-tindakan permusuhan

Dengan adanya Persetujuan Bangkok, diakhirilah politik konfrontasi yang tidak sesuai dengan politik Bebas Aktif Indonesia. Politik yang dilakukan selanjutnya adalah politik hidup bertetangga dan bersahabat baik dengan negara lain.

3. Politik dalam negeri era Orde Baru

Kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan di era Orde Lama. Pada era Orde Baru, guna menjamin kekuasaannya, Presiden Soeharto memfokuskan pemerintahan pada rehabilitasi dan stabilisasi nasional. Bidang yang menjadi perhatian adalah masalah-masalah perekonomian. Pada tanggal 1 April 1969, dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita 1 1967-1974). Fokus dibidang ekonomi ini diikuti dengan penataan dan konsolidasi bidang politik agar tidak mengganggu jalannya pembangunan khususnya dibidang ekonomi. Proses konsolidasi ini dapat terlihat dengan peristiwa pemilu pertama masa Orde Baru.

Pemilu adalah sarana yang digunakan untuk perpindahan kekuasaan secara damai dan konstitusional bagi sebuah negara demokrasi. Pemilu pertama pada masa Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Asas pemilihan yang digunakan dalam pemilu tahun 1971 adalah Umum, Langsung, Bebas, dan Rahasia sesuai penjelasan Undang-undang Nomor 15 tahun 1969.

Pada pemilu tahun 1971 terdapat partai politik pendatang baru, yaitu Golkar. Partai Golkar merupakan partai yang langsung memenangkan suara terbanyak dalam pemilu tersebut. Padahal partai Golkar merupakan partai yang baru. Ada beberapa alasan yang sebenarnya membuat Golkar tidak mengherankan bisa menang dalam pemilu pertama. Pertama, Golkar didukung oleh ABRI dan birokrasi pemerintahan. Kedua, Golkar mengusung isu-isu pembangunan saat berkampanye. Ketiga, keterlibatan ABRI dan Birokrasi pemerintahan dalam pemenangan Golkar. Jadi, tidaklah mengherankan jika pada kenyataannya Golkar menjadi pemenang pemilu.

Baca Juga : Reformasi Masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri

Pada pemilu berikutnya hanya ada tiga partai politik yang akan mengikuti pemilu. Ketiga partai politik ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Perampingan jumlah kontestan pemilu ini dikarenakan agar dapat terwujudnya stabilitas politik yang dicita-citakan sejak awal. Selain itu, tentunya mempermudah presiden Soeharto dalam mengendalikan pemerintahan. Golkar sendiri merupakan partai yang menjadi kendaraan politik Orde Baru. Oleh karenanya, sejak pemilu tahun 1977 sampai pemilu 199, hanya ada tiga partai politik yang mengikuti pemilu.

Pada hasil-hasil pemilu zaman Orde Baru jelas sangat terlihat bagaimana dominasi Golkar atas kedua partai lain. Alasan utama jelas karena partai Golkar adalah partai bentukan Orde Baru sebagai kendaraan politiknya, jadi pada setiap pemilu, Golkar selalu menang dan Presiden Soeharto selalu kembali menjabat sebagai presiden.

Dengan sistem semacam ini maka Presiden Soeharto merupakan satu-satunya operator tunggal dalam penataan sistem politik nasional. Beliau menjadi presiden, ketua dewan pembina partai Golkar, dan panglima tertinggi ABRI. Hal ini pula yang menyebabkan beliau dapat berkuasa selama 32 tahun serta dapat melakukan kebijakan apa pun dalam pemerintahan. Presiden Soeharto memang mampu menciptakan stabilitas politik dan keamanan serta mampu menekan angka kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan, serta mampu berswasembada beras. Akan tetapi, karena kontrol, beliau dapat melakukan apa pun dalam pemerintahan bahkan untuk kepentingan pribadinya, salah satunya adalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

KKN kerap kali dilakukan oleh penguasa Orde Baru ini, khususnya praktek korupsi. Virus inilah yang kemudian menyebar kroni-kroni Presiden Soeharto yang merupakan pejabat-pejabat pemerintah. Pada akhirnya KKN telah membawa bangsa Indonesia ke jurang krisis moneter yang berkepanjangan.

Kebijakan politik lain yang diambil oleh pemerintahan Orde Baru adalah menepatkan peran ganda ABRI yang di kenal dengan Dwifungsi ABRI. Alasan yang mendasari kebijakan tersebut tertuang dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. "Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Bukan hanya dalam politik dalam pemerintahan, ternyata kedudukan ABRI dalam masyarakat Indonesia juga merambat di sektor ekonomi. Banyak anggota ABRI yang menjadi kepala perusahaan BUMN maupun komisaris di berbagai perusahaan swasta. Tentu hal ini memicu anggapan dari rakyat bahwa Dwifungsi ABRI adalah wujud intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan kontrol terhadap masyarakat. Adapula yang menafsirkan Dwifungsi ABRI sebagai dwikekuasaan, dan ada juga yang menafsirkannya sebagai dwipengabdian.

4. Kehidupan bidang ekonomi Orde Baru

Pada masa Orde Baru program pemerintahan sepenuhnya diarahkan kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional, terutama upaya untuk menurunkan inflasi. Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukan tingkat inflasi yang menunjukan tingkat inflasi yang mencapai 650% setahun tidak memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan segera. Sang pemegang kekuasaan saat itu, Letjen Jendral Soeharto melakukan berbagai tindakan untuk mencapai stabilisas perekonomian yang meliputi:

  • Dibentuknya Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (DSEN) pada tanggal 11 Agustus 1966
  • Dimulainya Repelita (Rencanan Pembangunan Lima Tahun) pada tanggal 1 April 1969 sebagai langkah awal pembangunan nasional yang akan dilakukan secara bertahap. 

Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai 1 April 1969 dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Dasar pertimbangannya adalah 75% penduduk hidup dari pertanian, 55% produksi nasional dari pertanian dan lebih dari 60% ekspor berasal dari komoditas pertanian.

Pembangunan nasioanal pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan pola dasar pembangunan nasional disusun pola umum pembangunan jangka panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pemabngunan jangka panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969-1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian.

Selain jangka panjang ada juga yang berjangka pendek, yaitu setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap Pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya hasil produsen pertanian sehingga mereka mampu untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, Pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak enam kali.

Pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk membiayai program-program Pelita I sampai Pelita VI. Pemerintah tifak cukup hanya dengan mengandalkan devisa dalam negeri yang berasal dari pajak dan ekspor nonmigas. Selain itu, pemerintah juga mencari bantuan kredit ke luar negeri khususnya IMF (International Monetery Fund). IMF banyak memberikan bantuan dengan bunga yang mencekik.

Dengan suntikan dana yang besar, pemerintah berhasil menjalankan program-program pembangunannya sehingga laju perekonomian bergerak dengan sangat cepat. Akan tetapi, keberhasilan itu hanya dinikmati oleh segelintir golongan saja, khususnya para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Saat terjadi krisis ekonomi global pada tahun 1998, Indonesia tidak mampu bertahan dalam gelombang krisis tersebut sehingga menyebabkan tumbangnya rezim Orde Baru.

Nah sampai disini dulu yaa. Jika nanti ada kesempatan, mungkin akan di koreksi ulang dan di tambah lagi tulisan ini. Tulisan dari berbagai sumber. Mudah-mudahan bermanfaat.

No comments:

Post a Comment