Gambar perencanaan ekonomi dari pixabay.com |
Namun, apakah emosinya selamanya buruk? sebenarnya tidak juga! Misalnya saja, ada seorang owner perusahaan cat yang disegani tapi disayang oleh karyawannya. Saat itu, perusahaan sedang memutuskan untuk pindah lokasi yang cukup jauh karena perusahaan memutuskan untuk melakukan langkah ekspansi yang berakibat pada berbagai langkah efisiensi.
Pada waktu itu, beberapa karyawan yang senior, mulai ragu-ragu apakah akan terus bergabung. Hingga suatu ketika, saat sedang berlangsung sebuah pelatihan, si owner ini maju kedepan dan menceritakan tentang keprihatinannya serta rasa sayangnya pada karyawannya. Si owner, yang memiliki latar pendidikan teknis dan jarang bicara emosi, tiba-tiba berbicara hingga menangis. Dan apa yang dikatakan oleh si pemilik ini ternyata berdampak luar biasa. Karyawan serta pejabat senior melihatnya sebagai bentuk ketulusan yang luar biasa, rata-rata mengungkapkan kesetiaan dan memperbaharui komitmennya pada perusahaan.
Gambar kegiatan emosi dari pixabay.com |
Karena itulah, jika kita dulu seringkali menghidupi apa yang dikatakan oleh filsuf Rene Decartes sebagai "Cogito Ergo Sum" (saya berpikir, maka saya ada!) maka mungkin di era sekarang ini, kita pun harus berkata, "Saya merasa, apa yang saya pikirkan, maka saya ada!" Karena itulah, jika selama ini kita mengenal istilah economics, marilah kita berkenalan dengan emotionomic, yakni perpaduan dari konsep "emotion" serta "economics".
Singkat kata, formulanya, emotionomics = emotion + economics. Istilah emotionomics ini pertama kali diperkenalkan oleh Dan Hill, seorang President Director Sensory Logic di 1997 lewat bukunya. Dan Hill, selama ini dikenal sebagai pakar yang banyak berkecipung dalam penelitian facial coding. Yakni, memetakan bentuk dan raut wajah untuk ekspresi tertentu. Hebatnya, penelitian Dan Hill ini lantas dipakai di dalam dunia detektif, untuk pendeteksi kebohongan bahkan baru-baru ini, idenya diangkat kedalam film serial Lie to Me.
Gambar penelitian dari pixabay.com |
Fakta penting
Sekali lagi, ada banyak orang, khususnya pemimpin yang tidak menyadari soal pentingnya aspek emosi dalam bisnis. Padahal, menurut penelitian University of Rochester School of Medicine diungkapkan bahwa hampir tidak mungkin membuat keputusan tanpa melibatkan bagian emosi kita.inovasi bisnisnya dari pixabay.com |
Hasil kesimpulannya sederhana. Tatkala kita memasuki suatu pesta yang isinya orang-orang yang tidak kita kenal, dalam waktu kurang dari satu menit, kita akan putuskan dengan siapa kita mau bersama, siapa yang levelnya sama, siapa yang kita sukai. Begitu pula dengan berbisnis. Biasanya, dengan siapa yang kita sukai itulah, yang akan kita ajak berbisnis.
Hal ini termasuk pada saat kita melakukan transaksi jual beli. Umumnya, dikatakan kita akan membeli dari orang yang kita sukai dan percaya. Rata-rata, yang anda beli adalah orang-orang yang kita percayai dan merasa nyaman bersamnya. Tak heran, kalau baca dari buku Blink karya Malcolm Gladwell, ternyata dibutuhkan kurang lebih semenit buat kita untuk percaya dengan orang yang berinteraksi dengan kita.
Dan itulah momen yang sangat menentukan apakah kita akan membeli dari orang itu ataukah tidak. Begitupula dengan dunia advertising. Misalnya saja, Journal of Advertising Research ditahun 2002 yang melakukan riset dengan lebih 23000 orang membuat kesimpulan menarik. Intinya, "Emosi dua kali lebih penting daripada fakta". Dengan kata lain, gengsi, elegant, serta berbagai sensasi yang dirasakan, ternyata bisa lebih bermakna daripada fungsi produk itu semata.
Karena itulah, jangan lagi mengecilkan arti emosi dalam bisnis. Mulai dari pengambil keputusan bisnis hingga rasa puas, akan sangat mempengaruhi masa depan bisnis kita. Bahkan beberapa waktu lalu, sebuah riset oleh Thottam yang dipublikasikan dimajalah Time 2005 mengungkapkan bahwa karyawan yang puas akan berkontribusi hingga 10%-25% dari kinerjanya.
Gambar Walt Disney dari pixabay.com juga |
Baca Juga : Saat Cinta Terlarang Bersemi di Kantor
Begitu pula kita melihat berbagai iklan dan promosi, semakin disadari soal pentingnya unsur emosi ini. Belakangan ini, perusahaan menyadari tatkala kebutuhan dasar sandang dan pangan telah terpenuhi, maka kita bukan lagi bicara soal "kebutuhan" tetapi "keinginan".
Dengan contoh sederhana, bukan lagi sekedar "makan apa" tetapi "makan dimana".
Karena bicara soal keinginan, maka konsep emosi menjadi semakin penting dalam berbinis. Lihat saja, mulai dari bagaiman rumah makan, restoran, hingga mall, maupun berbagai produk mulai menawarkan nilai tambah.
Bagaimanakah merekayasa emosi yang menyenangkan dan menciptakan emotional moment of truth yakni momen emosional yang berkesan pada pelanggan kita? Ingatlah, keunggulan dalam merawat emosi pelanggan serta orang orang yang terkait dengan bisnis kita, selalu berujung pada hasil akhir finansial kita.
Diadaptasi oleh tulisan Best EQ Trainer Indonesia, Anthony Dio Martin melalui Bisnis Indonesia. Semoga bermanfaat!
Begitu pula kita melihat berbagai iklan dan promosi, semakin disadari soal pentingnya unsur emosi ini. Belakangan ini, perusahaan menyadari tatkala kebutuhan dasar sandang dan pangan telah terpenuhi, maka kita bukan lagi bicara soal "kebutuhan" tetapi "keinginan".
Dengan contoh sederhana, bukan lagi sekedar "makan apa" tetapi "makan dimana".
Karena bicara soal keinginan, maka konsep emosi menjadi semakin penting dalam berbinis. Lihat saja, mulai dari bagaiman rumah makan, restoran, hingga mall, maupun berbagai produk mulai menawarkan nilai tambah.
Penutup
Dan sebagai kata akhir, jika kita menyadari bagaimana emosi bisa lima kali lebih cepat, dari fungsi logika manusia dalam pengambilan keputusan, maka mulailah kita berpikir bagaiman perasaan-perasaan bisa mulai diciptakan kepada para pelanggan kita.ilustrasi rekayasanya dari pixabay.com |
Diadaptasi oleh tulisan Best EQ Trainer Indonesia, Anthony Dio Martin melalui Bisnis Indonesia. Semoga bermanfaat!
No comments:
Post a Comment