1/15/2022

Ketika Kepribadian Seseorang Dapat diramalkan Hanya Berdasarkan Perspektif Mata dan Asumsinya diterima Begitu Saja

image dari bintang.com
Pagi Kamis yang cerah, dipenghujung bulan Maret, tidak ada yang berbeda dengan hari hari lainya. Begitu sederhana, hening. Barisan awan putih tampak seolah berbaris rapih di depan paparan langit yang tak terukur luasnya. Nyaris tak berbeda dengan pagi-pagi pada hari-hari lainnya. Rumput dan ranting terlihat basah berkeluh kesah menatap embun pagi yang hinggap menceritakan betapa indah waktu pagi. Sekelompok burung ekor pendek terlihat seperti ikut menceritakan pagi itu indah, namun tak berbeda dengan pagi pada hari-hari lainnya. Sekelompok koloni semut terlihat sibuk berbaris seolah melakukan ritual penyambutan pagi yang begitu sakral sebelum akhirnya sibuk mengumpulkan puing-puing makanan. Namun tetap saja tak ada yang berbeda pagi itu dengan pagi-pagi yang lain.

Begitu juga untuk laki-laki muda yang sejak pagi terlihat sibuk mengemasi kemeja lusuh yang terlihat kusam yang satu-satunya ia miliki. Setelah mandi, tampak jelas gelembung-gelembung air dipermukaan kulit yang belum juga ia keringkan. Pencaran semangat begitu jelas menyelimuti wajahnya, ia begitu bersemangat menyambut pagi ini. Setelah sepotong kemeja dan sepotong celana panjang hitam yang terlihat sedikit robek bagian ujung kaki sebelah kiri itu ia beresi. Ia kemudian bergegas merapikan tumpukan buku dan kertas yang tak lain adalah ijazahnya sendiri dan memasukannya ke dalam tas ransel Polo Super tua miliknya, tak lupa sebatang pulpen tinta hitam bluesky ikut ia sertakan dalam tumpukan kertas itu.

Pagi ini pemuda itu terlihat sibuk setelah malamnya ia mendapat kabar jika pagi ini Owner rumah makan yang terdapat dikotanya hendak bertemu dengannya dalam rangka ''temuduga'' sebelum benar-benar diterima bekerja di rumah makan tersebut. Jelas hari ini begitu beharga baginya, mengingat begitu sulit menemukan lapangan pekerjaan di kota tempat ia tinggal. Ia tidak akan berlaku bodoh dengan menyia-nyiakan peluang dimana ia bisa bekerja dan menyisihkan sedikit uang demi memenuhi niatnya untuk mengikuti ujian masuk PTN yang akan diselenggarakan awal bulan depan.

Merasa memiliki sedikit waktu sebelum benar benar siap pergi, tidak ia sia-siakan. Ia gunakan untuk membersihkan sepeda motor yang sejak beberapa tahun terkhir menjadi pasangan setia kemanapun ia pergi. Motor bebek Supra Honda hitam dengan sedikit dihiasi les bewarna hijau ini lah yang menjadi sahabat terdekatnya ketika bepergian. Membersihkan motor sebelum bepergian merupakan riual yang hampir tidak pernah ia tinggalkan, apalagi jika memang kotornya parah, jelas dia tidak akan tinggal diam. Syukurlah, si Honda tidak terlalu kotor, jadi ia hanya cukup membersihkan sedikit permukaan yang di anggap perlu untuk di bersihkan.

Setelah benar-benar merasa siap untuk pergi, ia kemudian memberesi dirinya sendiri, sarapan secukupnya, kemudian mengenakan celana panjang hitam dan kemeja yang sejak pagi telah ia siapkan. Tarikan napas terdengar saat ia menatap kaca yang berada tak jauh dari jendela kamar miliknya. Walaupun terlihat sedikit lusuh setidaknya ia masih bisa berharap ia tidak akan diusir pergi saat interview berlangsung. Terdengar jelas bisikan hati kecilnya menggerutu menghakimi raga dan diri sendiri seolah tak setuju dengan pakaian yang raganya kenakan. ''Bersyukurlah kau masih bisa mengenakan pakaian'' Bisikan hati lain terdengar.

Perasaan akan kalah tak kuasa terkikis niat dan harapan untuk bisa bekerja, akhirnya ia berangkat menuju lokasi yang sebelumnya telah owner rumah makan tetapkan. Derum motor dan debu jalan yang diterpa mentari setengah siang menyatu. Tak menyurutkan niat untuk pergi. Menit demi menit berlalu ia telah tiba tepat di depan rumah makan yang bisa di golongkan termasuk rumah makan yang terbilang elit dibandingkan rumah makan lain yang berada di sepanjang jalan yang ada di kota itu.

Ia lekas memarkirkan motor tepat sebelah kiri gerbang masuk menuju rumah makan, dengan langkah pelan, ia melangkahkan kaki menuju receptionist yang terlihat berdiri dua orang laki-laki yang jika diperkirakan memiliki umur tak lebih dari 21 tahun. Setelah percakapan singkat, salah satu pegawai segera menunjukan jalan menuju ke ruangan owner perusahaan dan menjelaskan kepada owner maksud dan tunjuan si pemuda. Dengan perasaan gugup dan bingung, kini pemuda berdiri tepat di belakang pegawai yang sedang berbincang pelan dengan owner perusahaan.

Perbincangan pegawai dan owner perusahaan berakhir, kini tampak jelas tatapan sang owner yang agak sedikit bingung mengisyaratkan si pemuda untuk mendekat. Tanpa mempersilahkan si pemuda untuk duduk terlebih dahulu, tanpa menanyakan nama terlebih dahulu, si owner bertanya.

''Sebelumnya kamu pernah kerja dimana?'' Sembari memainkan pulpen yang masih berada diantara jari-jemarinya

''Sebelumnya saya pernah bekerja disini dan disini, walupun terhitung tidak begitu lama buk'' Jawab pemuda yang kini merasa aneh dengan sikap si owner yang bisa dibilang mamandang remeh dirinya.

''Trus kenapa berhenti? kan disana kerjanya enak. Disitu juga kerjanya jauh lebih enak'' Balas owner perusahaan merasa ada yang aneh dengan jawaban si pemuda yang sibuk merapikan kerah kemeja didepannya.

"Saya bekerja di sini, setelah beberapa lama ada sedikit halangan yang pada akhirnya mengharuskan saya untuk keluar perusahaan. Untuk perusahaan yang lain saya juga mengalami hambatan lain yang pada akhirnya saya juga harus meninggalkan perusahaan tersebut." Si pemuda berharap owner bisa menerima jawabannya tanpa memperlihatkan tatapan yang ia anggap sedikit menaruh kecurigaan. Si pemuda jelas saja bisa menilai perilaku owner yang menaruh kecurigaan terhadapnya, terlebih lagi proses ''temuduga'' yang dia dapatkan agak berbeda dari ''temuduga''-''temuduga'' pekerjaan sebelumnya yang pernah ia lewati.

''Oh, kamu benar tinggal di desa ini?" Tanya owner sedikit memutarkan kepalanya ke arah kiri

''Iya benar, saya tinggal disini." Kini si pemuda berharap proses ''temuduga'' ini segera cepat berakhir

''Oke, kalau begitu, nanti saya akan menghubungi kamu lagi'' Owner sedikit tersenyum

"Terima kasih buk" Si pemuda kemudian memalingkan diri dan lekas menuju keluar rumah makan tersebut.

''Tanpa harus menunggu panggilan lagi aku sudah mengerti jawaban dari interview singkat ini'' Oceh hati kecil pemuda melangkah menuju lokasi dimana tepat ia memarkirkan motornya.

Manusia muda seumuran pemuda ini jelas mengerti hasil dari interview ini, Jelas saja, mulai dari proses interview yang terbilang singkat, tanpa mempersilahkan sang pemuda untuk duduk terlebih dahulu. Ditambah lagi senyum yang keluar dari wajah owner yang tampak agak dibuat-buat.

Tanpa berpikir panjang si pemuda ini bergegas pergi, dan kembali menelan kenyataan bahwa semua tak semudah yang pernah ia bayangkan, mengubur kembali niat untuk segera bekerja dan menyisihkan uang. Tudingan terhadap diri sendiri jelas terlintas di benak, kalimat dan kata "Andai saja'', ''Kalau saja'' bak batu yang jatuh menghujani dirinya saat itu.

Benar saja, dari penampilan yang terbilang lusuh tidak tampak menggambarkan jika sang pemuda pernah bekerjaan ditempat yang telah dia jelaskan kepada sang owner rumah makan, si owner jelas saja ragu dengan perkataan pemuda, apa mungkin? Dengan penampilan yang seperti itu?

Kita bisa saja menaruh penilaian dan menetapkan bahwa seseorang itu lusuh berdasarkan penampilannya namun tidak terhadap sikap, prilaku, dan kepribadiaannya secara mutlak begitu saja. Bisa saja ada alasan lain yang tidak di jelaskan oleh orang yang kita pandang lusuh.

Asumsi penilaian oleh mata diterima begitu saja oleh hati dan pikiran. Sebagai manusia, kita tentu saja tidak bisa mengangkat dugaan sebagai sumber pembuktian untuk memvonis seseorang. Jelas tidak demikian. Dari pelajaran di atas, mudah-mudahan kita bisa mengubah cara pandang penilaian kita terhadap orang lain, terlebih lagi agar tidak menyinggung perasaan si ternilai. Mudah-mudahan bermanfaat.

No comments:

Post a Comment