Images by : Google.com |
Setelah semuanya selesai, dengan bermodal keyakinan dan keinginan yang tinggi aku coba mendaftarkan diri ke universitas negeri. Kabar baik, Alhamdulillah aku lolos seleksi. Semangat kian tumbuh, aku merasa semua perjuangan ku selama ini berjalan dengan lancar meskipun butuh waktu yang lama, aku akui itu dan aku sangat menghargai proses.
Cerita belum selesai sampe disitu, setelah lolos seleksi, sebagai mahasiswa baru. Aku di haruskan membayar biaya daftar ulang yang jumlahnya tidak sedikit. Aku coba putat otak untuk menyesaikan masalah yang mungkin menurut sebagian orang bukan masalah jika mereka punya biaya.
Okee, aku beranikan diri untuk minta waktu ke pihak universitas agar bisa melunasi biaya daftar ulang. Alhamdulillah dimudahin, pihak universitas bersedia ngasih waktu.
Nah, mulai deh aku berusaha buktiin ke pihak universitas, setiap hari aku bangun pagi kerja serabutan buat ngumpulin receh demi receh sebelum deadline yang universitas berikan datang.
Setiap usaha dan perjuangan yang kita lakukan tentu tak lepas dengan yang namanya cobaan, rintangan. Aku sadari itu semua bagian dari proses. Namun disinilah kebingungan itu bermula. Aku kenal dengan seseorang yang punya sangat berapi api, meneriakan perjuangan.
Disini dia mulai menceritakan semua perjuangan yang selama ini dia lewati sampe akhirnya dia bisa membangun "kedai kopi" yang pada dasarnya sebuah wadah dimana dia bisa membangun mimpi mimpinya.
Dengan bahasa yang sangat jelas dia berusaha menyakinkan aku untuk bisa berpartisipasi di "kedai kopi" untuk sama sama membangun mimpi kita masing masing.
Setiap kali bertemu, dia selalu meyakinkan untuk bergabung. Tanpa mengiyakan ajakan aku selalu diam, karna aku sendiri masih berjuang mempersiapkan biaya buat daftar ulang.
Sampe pada akhirnya dia bersedia membantu nambahin biaya daftar ulang. Entah kenapa aku masih saja binging.
Ini bukan masalah mampu atau tidak menyelesaikan masalah biaya, tapi aku pribadi merasa, aku belum benar benar berjuang. Yaa walaupun pada dasarnya aku memang perlu uang. Tapi setidaknya biarkan dulu aku melihat sejauh mana aku mampu bertahan. Aku tak mungkin serta merta menerima pemberian dia tanpa ada kontribusi apa apa untuk "kedai kopi" miliknya.
Dari persoalan ini muncul dilema lain, diantaranya agak enggan main ke kedai kopi miliknya, tapi kalau gak datang ke kedai aku merasa lari dari tawaran itu. Aku sangat menghargai bantuan yang dia tawarin. Tapi aku nggak bisa nerima itu begitu saja.
Sampe saat ini aku masih bingung harus gimana. Menolak, atau menerima begitu saja tawaran dia.
Karna setiap kali aku coba jelasin untuk menolak dia selalu meyakinkan, dan aku selalu kalah argumen.
Yaa walau gimanapun keadaannya semua jawaban tergantung dari aku sendiri. Bisa saja jawabannya aku bersedia gabung, lalu tanpa tahu apa hal yang paling bisa aku lakukan/kemampuan untuk dia sebagai timbal balik. Dan jika jawabannya tidak, beberapa kemungkinan bisa saja terjadi.
Mudah mudahan ada yang bisa ngasih solusi, dan semoga saja "kebingungan ini" (walaupun bukan masalah yang besar) dapat jalan terbaik.
No comments:
Post a Comment