mereka nyaris tak terlihat di kala aku terbangun via marriagegems.com |
Aku mungkin terlalu tua untuk menyadari itu, ku caci mereka dalam hati, ku rendahkan mereka dalam catatan dunia hidup. Itu membekas, ya itu membekas dalam hati. Tanggapanku tentang mereka sekarang membuatku rendah di hadapan bayang diriku sendiri. Aku tak sepenuhnya sadar akan penyesalan yang telah aku perbuat. Nyatanya mereka tetap kekal dalam catatan jahat dalam hatiku.
Sulit mengampuni mereka yang telah merendahkanku. Kemana akan ku buang perasaan yang seharusnya tak aku simpan rapi dalam catatan hati. Nama mereka jelas terpahat. Berbalik ke belakang dimana semua dimulai. Kadang ego diri juga tak bisa menyadari bahwa aku telah menerima vonis kejam terhadap mereka. Aku manusia, aku manusia, aku manusia, seonggok daging yang diberi nama. Namun aku tak pernah sadar.
Ada kala waktu, aku tak berani melihat kebelakang, melihat sejarah sendiri, kututup rapat. Tak ada yang mendekat, tak ada yang tahu, bahwa aku menyimpan dendam yang tak terbuang. pernah berharap ini akan terbuang mengalir bagai air sungai yang surut dan pasang mengikuti kegiatan alam yang berlaku. Namun tak mungkin. itu bagai bayang yang mengikuti kala kita mendekati cahaya.
Jujur, itu juga tak akan membuat aku tenang, karna mereka tak mungkin terima jika cacian hati aku tumpahkan ke muka mereka. Aku simpan sampai aku tak tahu kapan aku mati. Dibawah bayang ketakutan, kutulis rapi penyesalan, kusimpan berharap tak akan ada yang tahu jika aku telah jujur dengan diri sendiri. Seketika, tidurku tak tenang, takut jika ada yang tahu dan mencuri kertas yang kutulis, lalu membeberkan ke semua manusia yang hidup di sekitarku. Aku beranjak bangun, seketika ku bakar kertas itu.
Sosok hitam itu datang lagi, dalam mimpi di kala tidur, dalam siang dan malam di kala terjaga. Jalan yang kutempuh ialah terbiasa hidup di dampingi catatan hidup yang kelam itu. hari hari tak bersemangat ku jalani perasaan takut selalu datang tak pernah peduli sesibuk apapun aku. Aku bersimpuh di waktu terendah kehidupanku sendiri. Menangis. Aku adukan semua kepada Allah, ku adukan bahwa mereka telah menghinaku, aku aduhkan bahwa mereka telah merendahkanku. ku sampaikan aku telah rapuh menahan bayang hitam itu. Seketika cerah, semua terang, burung berterbangan, mentari naik di ufuk timur, pagi telah datang.
Aku terbangun, aku terbangun di kala semua sosok gelap itu berubah menjadi nyata, dan telah jauh meninggalkankun. iyaa, aku terbangun dari tidur disaat mereka telah menempuh jalan panjang menuju kebahagiaan hidup mereka. Aku tertinggal.
Aku terlarut dalam kesedihan yang begitu panjang, aku terbangun ketika hampir dipuncak kemenangan. Aku masih di sini, di batas awal perlombaan. Aku ditipu nafsu, aku ditipu penyesalan, aku ditipu kesedihan, aku ditipu untuk terus berputar di awal perlombaan. Aku larut dalam penyesalan.
Sementara meraka sudah jauh didepan, meraka hampir tak terlihat, mereka nyaris tak terlihat. Berusaha tenang dari pelajaran yang telah aku alami, aku tak boleh bersikap bodoh, aku harus tenang menata langkah dan rencana, bukan untuk membalas mereka, tapi untuk melampaui mereka.
Strategi kurancang untuk menghadapi perlombaan, rencana telah kusiapkan, kenang hitam itu juga telah ku bungkus dengan plastik hitam. Kusimpan dalam sangka kematian agar tak dapat pulang. Kusiapkan langkah panjang, ku bangun rencana menang, mereka berbalik dan berkata bahwa mereka memenangkan perlombaan. Aku tak lantas percaya, mereka merancang muslihat agar aku bertahan dan bertanya. Aku tak akan keluh dengan ucapan mereka. Aku terus berjalan. Memulai rencana ketika mereka telah nyaris menang. Ini pengalaman, ini pembelajaran, agak kau tak mudah di tipu saat di perjalanan kelak, sorak nahkoda otak kanan dan kiri ku hampir bersamaan.
Ini realita, ini bukan cerita, ini sungguh pernah aku lewati, dan saat tulisan ini di ketik, di saat itulah aku sadar akan ketertingalanku dalam perlombaan ini. Berharap pengalaman ini bisa jadi pelajaran untukku pribadi dan untuk orang yang membaca tulisan ini. Aku telah sadar sepenuhnya.
06012017 Desakecil
No comments:
Post a Comment