1/15/2022

Antara Mimpi, Harapan, dan Momok Seram Bernama Kenyataan

airmata via kaskus.com
Masih teringat jelas hari itu, hari dimana kami siswa siswi sekolah menengah atas merayakan hari kelulusan. Kami semua bahagia, sekolah itu meluluskan semua murid kelas terakhirnya. Tidak ada yang berbeda, kelulusan kami rayakan dengan mencoret-coret baju, konvoi sepanjang jalan di daerah kami. Kami melampiaskan kebahagian sekaligus memamerkan ke semua orang bahwa kami telah menyelesaikan pendidikan. Tak begitu peduli dengan tanggapan orang-orang dengan pandangan remeh merendahkan kalakuan kami.

Aku terusik risih dengan bisikan lembut dalam hati, "setelah lulus lanjut kemana? Kerja? Kuliah?". Tak aku perdulikan bisikan itu seraya ku jawab "Waktu masih panjang, kerja dululah, santai". Aku lupa jika masa penentuan baru saja di mulai, aku lupa jika kehidupan tak semudah yang pernah aku bayangkan. Aku juga lupa jika umur makin bertambah seiring bergantinya siang dan malam. 

Beberapa minggu setelah kelulusan itu, teman-teman lain seangkatanku mulai sibuk dengan masing masing urusan mereka, mengurus kelengkapan persyaratan masuk PTN, sibuk dengan beberapa kertas lamaran yang akan mereka sebar. Aku tak begitu peduli dengan urusan mereka, aku tak begitu mementingkan hal yang khusus saat itu. Masa bodoh dengan keadaan dan kesibukan mereka.

Hari-hari berlalu, yang aku sibukan hanya bagaimana agar hari ini aku senang dan bahagia. Aku lupa merealisasikan impian yang semasa sekolah begitu lancar aku presentasikan ke teman sebangku. Seolah aku lupa jalan pulang, berbalik arah, jalan terus dan pergi tanpa tujuan. 

Aku begitu sibuk dengan pergaulan. Bangun pagi, pergi dan pulang ketika hari larut malam. Itu terus berulang sampai waktu dimana aku sadar mereka telah jauh di depan. Aku tersandar di bawah tiang kepalsuan pergaulan. Berdiri di samping onggokan sampah kebahagian pergaulan.

Aku tak lantas sadar, semua berlanjut 1-2 tahun setelah kelulusan. Aku seolah gagap mata akan masa depan. Masih saja aku terlarut dalam masa muda yang menyombongkan masa muda dengan nama pergaulan. Dalam hati niat untuk berbenah ada, namun seolah-olah terkekang tali kemalasan yang menyimpul keras. Tak sadar aku telah membuat masa denpanku sendiri kiat suram.

Penyesalan itu datang tanpa di undang. datang beberapa tahun setelah semua berantakan. Aku coba berbenah, aku buka lembaran kertas rancangan impian yang pernah aku buat semasa sekolah. Walaupun terlihat jelas, mata dan perasaan seakan buram melihat rancangan undang-undang impian yang hampir samar nyaris kusam. 

Aku coba bangkit dari keterpurukan tapi bingung harus ku mulai dari mana, ah sudahlah, setidaknya aku masih di beri kesadaran untuk sadar dengan apa yang telah aku lakukan. Aku tata ulang serakan mimpi yang terbang, ku kemasi lembaran mimpi yang tebuang, tak lupa aku beresi baju oblong yang ku kenakan. Dengan doa dan harapan menghadapi kenyataan, mimpi yang terbuang, mimpi yang berserakan, aku siap menjelang.

Diperempatan jalan aku lupa, jika semua itu perlu biaya, lain halnya jika semua ini aku mulai beberapa hari setelah kelulusan. Aku mungkin bisa mengandalkan apa yang mereka sebut bantuan kemiskinan. Lihatlah, kenyataan hanya melihat dengan gelengan kepala. Mimpi yang aku cita citakan sudah tidak relevan untuk di terapkan di masa sekarang. Masa di mana "sekolah lanjutan" setelah Sekolah Menengah Atas memandang usiaku sudah lebih dari matang untuk pembiayaan sendiri. Yang berarti aku harus menyediakan uang untuk mendulang mimpi. 

Aku pandangi diri, aku lupa jika aku bukan golongan beruang, aku menyesal kenapa aku sadar sekarang. Memutar haluan itu yang akan kulakukan. Mudah mudahan ini bisa menjadi pelajaran, dimana waktu jauh berharga daripada kesombongan bernama pergaulan. 

Saat ini aku hanya bisa menjadi supporter malang di kala mereka yang dulu teman menenteng harapan yang begitu terang. Aku hanya bisa menyaksikan mereka berlenggang di atas panggung yang kini bagiku panggung itu merupakan harapan yang sulit untukku tunggang. 

Sadar caci dan maki tak akan merubah keadaan, setidaknya ini bisa menjadi pelajaran untuk manusia sombong lainnya yang memamerkan kosombongan ego diri yang enggan mencari dan tidak bisa sibuk mengejar impian, agar kelak tak menjadi seorang pencudang. Pecundang yang hanya bisa menjadi penonton bayaran kesuksesan orang lain.

Ku tata ulang, ya itu yang aku lakukan. Aku tata ulang mimpi dan harapan, aku yakin semua belum terlambat. Setidaknya aku tidak menjadi seorang pecundang, yang larut dalam kesengsaraan penyesalan. Harapan dan mimpi itu yang aku penggang untuk menjalani kenyataan. Aku tahu waktu tak akan berbaik hati untuk mengulang kejadian. Aku rajut semua menjadi sebuah harapan dan impian untuk masa yang tersisa dan yang akan datang. Melakukan sebaik mungkin, berusaha sekeras mungkin, demi tercapainya cita-cita dan harapan. 

Tempat : OmahBabe

No comments:

Post a Comment